Buku Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang telah terbit pada tahun 80an ini masuk kedalam list bacaan wajib Rasssian pada tahun 2019 ini. Beberapa hal dikarenakan buku ini termasuk kedalam 20 rekomendasi karya-karya sastra terbaik.
Beberapa buku sastra yang telah melegenda juga telah selesai saya khatam seperti Tetralogi Bumi Manusia Karya Pram( Bumi Manusia & Anak Semua Bangsa), setelah itu Salah Asuahan karya Abdoel Moeis, Saman nya Ayu Utami, Olenka nya Budi Darma dan Tenggelamnya Kapal Van der wick karya Buya Hamka. Tentu masih ada banyak yang belum sempat dibaca dan ya Rasssian masuk ke wish-list aja dulu.
Oleh karena itu diberilah ungkapan Buku Akik karena karya-karya sastra tersebut telah melegenda terbit dibawah tahun 90an yang memiliki nilai historical dan pastinya diakui oleh para pecandu buku.
Buku Akik Ronggeng Dukuh Paruk, kita mengenal sekilas penulis nya terlebih dahulu, yakni Ahmad Tohari. Lahir pada tahun 1948 memiliki pendidikan formal mencapai SMTA di SMAN 2 Purwokerto, namun demikian beberapa fakultas pernah dijamahnya seperti ekonomi, sospol dan kedokteran tetapi semuanya tak ada yang ditekuni. Setelah itu beliau memulai menulis dan novel pertamanya yakni “Di Kaki Bukit Cibalak” terbit pada tahun 1977.
Sinopsis :
Semangat Dukuh Paruk kembali meggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri.
Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda, semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten.
Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara itu.
Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki manapun. ia ingin menjadi wanita somahan. Dan Ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil pun…
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan sebuah judul trilogi bagi 3 buku didalamnya yang memiliki ketebalan 406 halaman. Sedangkan judul tersebut telah menjelaskan secara garis besar inti cerita yakni tentang Ronggeng (apa itu ronggeng, siapa ronggengnya dan budaya ronggeng itu sendiri dimasa lampau) dan Dukuh Paruk yang merupakan sebuah desa terpencil dan terpelosok tidak banyak orang yang tahu.
Cerita bermula di buku pertama yakni berjudul “Catatan Buat Emak” yang memiliki kurang lebih 100 halaman. Bercerita tentang pengenalan karakter dan Dukuh paruk itu sendiri. Memperkenalkan tragedi Tahu bongkrek yang nyaris membuat semua warga pedukuhan tersebut tewas, dari peristiwa tersebutlah pembaca akan dikenalkan dengan karakter bernama Rasus, Srintil dan bagaimana latar belakang mereka. Memperkanalkan Ki Secamenggala bukan sebagai sosok yang hidup tetapi sebagai nenek moyang, panutan yang di agung-agungkan oleh semua warga.
Karakter lainnya adalah Kartareja dan nyai kartareja menjadi orang terpandang di Dukuh Paruk setelah itu Sakarya dan istrinya yang menjadi kakek-nenek Srintil.
Di Buku pertama ini juga kita akan melihat bagaimana perkembangan cerita yang bergejolak begitu hebat jika dibandingkan dengan buku ke-2. Salah satunya adalah kita bisa merasakan cerita Srintil dan Rasus yang penuh emosi. Dari mereka kanak-kanak hingga mereka berusia akhir belasan tahun dan bagaimana Srintil mendapatkan jati dirinya sebagai ronggeng dan dia bangga, sedangkan Rasus tidak menyukai Srintil menjadi ronggeng karena itu akan membuat jarak diantara mereka. Sehingga berimbas kepada keputusan Rasus untuk menjadi tentara dan berani meninggalkan kampung halamannya yang primitif tersebut.
Buku Kedua berjudul “Lintang Kemukus Dini Hari“, yakni disini lebih banyak menyorot keberadaan Srintil sebagai Ronggeng dan dampak yang diberikan terhadap Dukuh Paruk seiring berjalannya zaman. Tokoh Marsusi menjadi cerita pemikat pada bagian ini, bagaimana Marsusi mati-matian untuk mendapatkan Srintil hingga dengan segala cara. Tragedi tahun 1965 juga menjadi konflik berat pada bagian cerita buku ini, perubahan yang drastis terjadi terhadap Dukuh paruh yang dungu karena tidak sengaja terseret malapetaka 1965 tersebut.
Lebih-lebih bagaimana Ronggeng dari pedukuhan tersebut di cap sebagai komunis hanya gegara mereka tidak mengerti dengan kondisi yang terjadi. Menyoroti lika-liku perjalanan Srintil yang ditahan di penjara selama 2 tahun. Dan anehnya keberadaan Rasus tidak terlalu di sorot, hanya melengkapi cerita bagaimana kelanjutan perjalanan Rasusu setelah memasuki dunia militer. Kisah romansa pun nihil disini, jadi terasa hambar membuat saya sebagai penonton menjadi susah atau lama dalam menamatkan buku ke-2 nya ini.
Buku ketiga yakni “Jantera Bianglala“, klimaks yang begitu hebat hadir di buku terakhir ini. Kita akan bahas khusus buku ke-3 ini dipostingan selanjutnya.
Keseluruhan buku ini bisa dikatakan bagus karena ending ceritanya begitu berkesan dan lama membuat para pembacanya berpikir-pikir, “Mengapa harus seperti ini”. Namun, bagi Rasssian sendiri mengakui buku ini tidak se-magis yang orang-orang katakan, butuh waktu tiga minggu lebih untuk menyelesaikannya. Tetapi secara nilai dan unsur cerita sangatlah menarik.
Kelebihannya, sang penulis bercerita seolah-olah melukis dan menggambarkan kehidupan yang begitu rinci, bagaimana harafiah alam sedang berlangsung. Seperti sang penulis bisa menghabiskan beberapa paragraf dalam menyelesaikan rantai makanan yang terjadi di sudut desa yang terpencil tersebut, setelah itu barulah sang penulis memasuki dunia tokohnya. Nampak jelas bahwa sang penulis sangat mencintai alam, apalagi suasana desa yang asri dan tenang.
Kekurangan, bagi saya yakni termasuk kedalam bagaimana rinci harafiah alam tersebut diceritakan, karena membuat saya ngeh untuk membacanya. Seperti ceritanya terlalu melebar sehingga masih belum juga masuk ke relasi yang sedari tadi ingin dihubungkan. Sebenarnya bagus, tapi karena proporsinya yang begitu banyak membuat orang-orang seperti saya menjadi capai. Setelah itu kekurangan yang lain adalah eksekusi kisah Srintil yang begitu tragis, sangat disayangkan juga sebenarnya. Barangkali sang penulis Ahmad Tohari ingin meninggalkan kesan yang sumringah dan mendalam terhadap pembacanya.
Kesimpulan, buku ini menjadi rekomendasi buku sastra yang sangat komplek untuk di baca. Mungkin buku ini adalah salah satu alasan kenapa sastrawan, seniman, budayawan harus mendapat tempat istimewa dalam bangun peradaban manusia. Karya-karya mereka dapat begitu dalam menggugah cipta rasa, menggetarkan jiwa, dan memberikan pengalaman kemanusiaan.
Buku ini berisi kisah epik hubungan antar manusia, yang dibungkus dengan narasi kompleks tentang kemiskinan, modernitas, budaya lokal, gender, feminisme, seksualitas, dan latar belakang sosial politik, tapi dituturkan dengan bahasa yang sangat indah mengalir, bersahaja, dan tanpa pretensi.
Kalau bagi kalian yang hobi membaca buku dengan tag-pecandubuku, maka Ronggeng Dukuh Paruk menjadi bacaan yang wajib.
Baca juga Review Novel saya yang lainnya yang tak kalah menarik :