Kumpulan Puisi Andesta Herli

Kumpulan Puisi Andesta Herli yang pada awalnya saya ketahui nangkring di koran lokal. Setelah saya baca keseluruhan, isi dan maknanya sangat mengena sekali pada kehidupan sehari-hari. Kata-kata nya tidak meliuk dan tidak memusingkan, justru akan menambah kesadaran dan membuat kita rendah diri.

Ketika Burung-burung Pulang ke sarang, Hari Telah Digenapkan

Ketika burung-burung pulang ke sarang,
hari telah digenapkan. Kota menutup gerai-gerai toko
yagn letih, menutup hatimu dari kecamuk perang:
pertentangan antara uang dan rasa riang.

Kita mesti berbenah, bersiap pulang.
Halaman dan pintu menanti, sang ibu
baru saja selesai menyulam baju
pembalut tubuhmu dalam tidur penuh syukur.

Bukan. Bukan lantaran letih kau musti beralih
tidak juga rindu membuncah sebagai kata sudah.
Tapi masai kota takkan jadikan engkau tualang
tanpa rumah-tanpa silsilah.

Sebab rumah mesti dibangun, cerita tentang leluhur
mesti ualng disusun. Bersama kasih ibu, bersama
legam risalah dalam badan.

Malam bakal turun dan jadi lebih panjang,
angin sakaunya bakal menjaga cemas-cemasmu.
Menjaga amis tanah, sungai dan laut dalam darah
memastikan segalanya terus tumbuh, membumbung
buncah sebagai rajah, sebagai pengingat langkah-langkah.

Dalam hangat peluk ibu, kaukenang kelahiran
sakit masa kanak-kanak, dan sekian kisah
percintaan yang canggung. Mimpi-mimpi hari silam
minta diterjemah, sakit perjalanan perlu dirambah
dengan dupa pernama pertama.

Hingga dinihari luruh, subuh mengantar teluh
segala yang tak genap dalam badan bakal digenapkan.
Segala yang terasa sumbang dalam langkah bakal dikukuhkan.
Dan cerita tinggal cerita, membumbung sebagai asap
dari api pendiangan–

Baunya menerpa rongga, menelusup di balik dada.
Jadi rahasia tabah di hadapan riuh kota, sibuk jalan-jalan
penuh asal knalpot dan slogan-slogan
yang bercerita tentang si loba, si malin yang lupa.

(Padang, Juli 2015)

Seperti Pagi yang Sudah-sudah

Pagi menusuk tulang, menderam insomnia jadi kian mambang.
Tapi aku tak bisa lelap, meski sepintasan angin menguar.
Kucium aroma tembakau dalam-dalam, kusesap pekat pahit kopi
dari gelas yang terus mendingin, jadi gigil yang takzim.

Serombongan anak- anak bernyanyi sepanjang jalan
menyebut segala mantra ceria yang mereka kenali.
Di kejauhan, dari corong mesjid, sayup kusimak orang alim
membaca doa penolak bala, serasa jadi kata penolak patahnya asa
dalam dada.

Sementara pagi kian meninggi, aku mengenang lagi
segala untung-diri, alur nasib yang berkelindan sunyi.
Musim-musim dengan ratap tiada henti, malam-malam
yang selalu jadi panjang, pengiring siasat tualang mambang.

Ah, dadaku laut biru, luas dan dalam tak menentu.
Gelombang tinggi menyapu tiap-tiap mimpi tengah malam.
Angin badai memuntahkan segenap kutuk para lanun.
Dan hujan panas yang melapukkan gairah percintaan
hingga tak ada yang tinggal kecuali kenangan penuh lebam.

Pagi yang dingin, duh! segalanya jadi lebih dingin dalam diriku.
Bayang-bayang percintaan di masa lalu, akankah berbuah ceria kini
di selingkar hujan-panas hari tanpa gabak penanda musim?

Barangkali tidak, sebagaimana kota terus menggelinding
menjerat dan membenamkan aku dalam demam,
dalam gairah pembujang yang terlalu lekas jadi resam.
Dadaku biru pekat, silau menatap hari depan.

Padang, 2016

Hujan Sehari di Awal Bulan

Hujan sehari di awal bulan
membasuh tanah-tanah retak
dan jalan-jalan terselimut debu.

Kota jadi dingin
segala yang lama terendap
telah dialirkan ke muara
bersama sakit nasib para perantau
ditinggal kapal kepulangan.

Kini hari baru dimulai
kelahiran pantas diulang lagi
peran minta dilenggang kembali
sebagai si suci, si kanak-kanak
yang tak suka berdurja diri
atau si musafir yang menyerahkan hidup
pada segala khusuk-loba perjalanan.

Sebab letih sebulan telah digenapkan
gaji yang besarannya sayup menjangkau hidup
telah dicukupkan, mengekalkan kata syukur
dalam dada tiap-tiap kita.

Tentu tak ada yang janggal ini kali
esok, doa-doa lama mesti ulang disusun
kutuk-serapah yang terludah bakal ulang dikulum
penjaga badan sepanjang jalan
dalam terik-hujan sebulan di depan.

Hingga segalanya kelak menggumpal
mengendap sebagai kesedihan
dan nasib buruk berkepanjangan
tak sabar menanti sehari lagi hujan
di awal bulan.

(Padang, 1 Agustus 2016)


Andesta Herli, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Lahir dan besar di Tapan, Pesisir Selatan.  Sehari-hari, ia bergiat di Labor Penulisan Kreatif (LPK) FIB Unand dan Teater Langkah FIB Unand.

 

Kenapa tidak membuat puisi sendiri? Ada kok, kalian yang suka puisi barangkali bisa juga baca puisi saya di bawah ini :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *