Tertulis dengan jelas di sampul belakang buku bahwa si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Ia menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius. Itulah tanah surga, Sangri-La, mimpi dari para petualang dunia. Calon petualang mana yang tak terbius dengan catatan perjalanan semacam ini.
Agustinus Wibowo adalah seorang pria Lumajang yang semenjak kecil sudah ditantang oleh ayahnya untuk melihat dunia. Bagi kalian yang belum mengetahui siapa beliau bisa cek disini profilenya. Petualangannya dimulai ketika ia berhasil diterima di perguruan tinggi terbaik di tanah leluhurnya, Tiongkok. Usai meraih gelar S1-nya, Agustinus muda justru bermimpi melakukan perjalanan darat dari Beijing hingga Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
–
Di buku setebal 552 halaman ini, Agustinus Wibowo, seorang travelwriter asal Indonesia berketurunan tionghoa menelanjangi perjalanannya itu di depan mata saya. Bagaimana ia lebih bersemangat mengejar hasrat perjalanannya mengembara ke negeri-negeri jauh ketimbang ketika ia menyelesaikan studinya di negeri leluhurnya di Tiongkok sana. Merantau jauh meninggalkan keluarga yang tak henti mendoakan namun memendam kerinduan teramat sangat. Mungkin dia menemukan jati dirinya di situ.
Ketika membaca buku ini, saya merasa ikut di samping Agus, bagaimana ia tidur berhimpitan di kereta menuju Tibet, menggali spiritualitas di negeri-negeri penuh vihara -Tibet, menggigil kedinginan di atap-atap bumi -Himalaya, Nepal, hidup di tengah remang-remang budaya India, terpanggang di teriknya gurun-gurun di Pakistan, menyaksikan segala keganjilan hidup, kesedihan, kebahagiaan, kemiskinan, hasrat, harapan, konflik, peperangan, ideologi, kemaksiatan, keimanan, hingga merasakan teriakan hidup di negeri-negeri yang selama ini tidak pernah terdengar, Afghanistan.
Menurut saya, tulisannya ini tidak hanya sekedar kenyataan, tapi ia mampu membawa roh perjalanannya itu sehingga membuat ternganga, ternyata dunia di luar sana begitu berbeda. Agustinus menceritakannya dengan sangat dalam, dan ia mampu mengutarakan pemikiran dan pengalamannya menjadi begitu bermakna. Saya salut.
–
Petualangan Agustinus dimulai saat ia menembus Tibet secara ilegal dengan hanya bermodalkan wajahnya yang mirip penduduk setempat. Ia sukses berziarah mengelilingi Gunung suci Kailash. Memasuki pegunungan Himalaya, dia justru terkatung-katung di Nepal lantaran dompetnya dicuri, menjadi pengembara kere. Pindah ke India, Agustinus harus membuyarkan imajinasinya tentang negeri tarian ala film Bollywood. Satu tujuan mulia yang akhirnya terlaksana, dia menjadi relawan gempa di lembah Kashmir yang mempesona. Di Pakistan dan Afganistan, Agustinus menjadi saksi mata atas konflik agama dan perang berkecamuk yang tiada henti.
Buku ini menceritakan dengan lengkap suka duka sebuah perjalanan. Agustinus bukanlah turis yang hanya melihat indahnya suatu negeri, foto-foto, lalu pergi. Agustinus melebur di dalamnya, mengenal negeri itu, tinggal di rumah-rumah penduduk, memahami dan merasakan dilema sosial di sana.
Pembaca akan dibuai fakta betapa kerennya sebuah perjalanan keliling dunia. Lalu, pembaca harus disuguhi kenyataan betapa bahayanya traveling di negeri orang. Mulai dari penjambretan, wabah penyakit, perlakuan tak menyenangkan, serta ancaman kematian. Semua itu sudah dialami sendiri oleh si penulis.
Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si petualang pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Ia kembali ke titik nol awal perjalanannya. Tapi justru di sini, dari ibunya, dia menemukan semua makna perjalanan yang selama ini terabaikan.
Kelebihan:
Penulis memiliki kamus kata yang sangat kaya. Ia benar-benar menggunakan pilihan kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang ia lihat dan rasakan. Penulis juga memiliki ribuan analogi yang menggambarkan keadaan yang ada. Pembaca jadi bisa merasakan sendiri kejadian yang dialami oleh penulis. Bahagia adalah senyum. Sedih adalah tangis. Takut adalah khawatir.
Pada setiap babnya terdapat foto mengenai tempat yang dikunjungi. Foto itu diambil sendiri oleh si musafir selama perjalanannya. Foto-foto ini tentunya dapat membantu pembaca untuk membayangkan kondisi orang, tempat, dan kebudayaan yang diceritakan.
Kelemahan:
Pada buku ini penulis menceritakan dua kisah secara paralel, yaitu: cerita perjalanan dan konflik keluarga. Bagian kisah perjalanannya sendiri memiliki alur yang terurut. Tetapi bagian konflik keluarga, alurnya terkadang loncat maju mundur. Hal ini bisa membuat pembaca bingung dia sedang berada di bagian mana.
Pembaca disuguhi kisah perjalanan yang langsung seru dari awal. Klimaks cerita terjadi berkali-kali. Hanya saja di bagian akhir buku, ceritanya langsung anjlok. Tak pelak pembaca dibuat bosan menunggu kapan kira-kira lembar buku ini akan habis.
“Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan.”
“Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali.”
“Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.”
Sekian dulu Review Buku Titik Nol , Makna Sebuah Perjalanan ini, yang nyatanya sangat bisa dinikmati bagi kalian yang suka dengan bacaan tentang makna kehidupan ataupun pencarian jati diri atau dengan kisah yang lebih dalam seperti membuat pembacanya menjadi bijaksana.
Baca juga Novel pilihan terbaik oleh Rasssian dan Review Novel menarik lainnya di :