Sastra romansa ini tentulah sangat fenomenal sehingga telah di filmkan dan sukses dengan banyak pencapaian. Namun disini kita tidak membahas Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dari segi perfilman, melainkan dari sumber yang rinci yakni novelnya yang telah terbit secara sah sejak 1976 oleh penerbit Bulan Bintang sedangkan cetak asli telah terbit secara cerita bersambung pada tahun 1937.
Kita bahan sedikit latar belakang Buya Hamka. Dilansir dari Wikipedia beliau bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan singkatan Hamka, lahir di Maninjau 7 Februari 1908 dan meninggal pada 24 July 1981. Beliau adalah ulama asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Setelah melakukan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu.
Beliau bekerja sebagai guru agama di Deli, Sumatera Utara, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke Medan. Di kota itu, ia menerima permintaan untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat, yang dalam majalah ini untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan. Di sela-sela kesibukannya, Hamka menulis Van der Wijck, karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya suatu kapal pada tahun 1936.
Tentu telah banyak dari kalian yang tahu bagaimana jalannya cerita ini. Secara garis besar Cerita berkisar tentang semangat juang Zainuddin, bagaimana merana dan melaratnya hidup Zainuddin setelah cintanya ditolak oleh keluarga Hayati. Kemudian beliau bangun semula dari segala kedukaan, membuka lembaran baru dalam hidupnya menjadi seorang penulis yang ternama dan berjaya. Ah, tidak perlu dijelaskanlah dengan begitu rinci karena kebanyakan dari kalian pastilah sudah tahu.
Bagi kalian yang mengetahui ceritanya dari film yang berdurasi kurang-lebih dua jam dan dengan segala keterbatasan waktu tersebut tentu ada yang kurang dan tidak didapati dari novelnya. Saya sendiri jujur baru membaca versi novelnya setelah menonton versi film, alhasil sosok hayati yang begitu dikagumi zainudin terbayanglah wajah Pevita Pearce, Ondeh mandeh. Sepertinya kurang gimana gitu, seolah imajinasi kita sudah terkotak-kotakan dengan ilustrasi yang ada di film. Seandainya belumlah nonton versi filmnya tentulah kita leluasa untuk berimajinasi, bagaimana zainuddin mengagumi keelokan paras hayati, seolah kita membayangkan paras mantan pacar yang semakin menjadi-jadi.(Ckckwkk)
Hal yang paling menarik jika sudah membaca versi novelnya ini, yaitu bagian Surat Menyurat Zainuddin dan Hayati yang bakal tidak begitu di eksploitasi di filmnya.
“Apakah keadaanku yang tidak kau setujui Hayati ?
Apakah yang telah menyebabkan dengan segera namaku kau coreng dari hatimu ?
Ah Hayati, kalau kau tahu ! Agaknya belum pernah orang lain jatuh cinta sebagaimana kejatuhanku ini. Dan bila kau alami kelak agaknya tidak juga akan kau dapati cinta sebagai cintaku. Cintaku kepadamu lebih dari cinta saudara kepada saudarnya, cinta ayah kepada anaknya. Kadang-kadang derajat cintaku sudah terlalu amat naik, sehingga hanya dua yang menandingi kecintaan itu, pertama Tuhan dan kedua mati.
Tak pernah namamu lepas dari sebutan mulutku. Tidak pernah saya khianat kepadamu, baik lahir ataupun batin. Kalua saya melihat alam, maka di dalam alam yang kulihat itu engkaulah yang tergambar, segenap perasaanku berisi dengan engkau. Bilamana matahari terbenam saya perhatikan benar-benar, karena disana kelihatan wajahmu yang indah. Bila tekukur berbunyi, kudengarkan dengan khusyu’, lantaran disana laksana tersimpan suaramu yang merdu. Dan bila saya melihat bunga yang mekar, kembalilah semangatku, karena keindahan bunga itu adalah ciptaan keindahanmu.”
Setelah itu di bagian lainnya…
“Lebih seratus kali nama kau kusebut dalam sehari! Kadang-kadang saya panggil dalam nyanyianku, kadang-kadang dalam ratapanku. Kicut pintu ditolakkan angina, serasa-rasa langkah kau yang terdengar. Masih juga belum percaya saya bahwa kau memang telah sebenar-benarnya membuang saya dari ingatanmu. Saya tanyai diri saya, adakah saya berdosa kepadamu? Tidak rasanya, bahkan dosa yang lain yang kerap saya perbuat untuk mencukupkan cintaku kepadamu.
Pernahkan kau melihat seorang perempuan tua yang berjalan hilir sawah mudik sawah, sambal bernyanyi menyebut-nyebut nama anaknya. Yaitu seorang perempuan yang masih muda, yang wafat seketika dia akan dikawinkan, sehingga sedianya akan dibawa bertandang ke rumah mertuanya dengan peralatan besar, kiranya diiringkan kekuburan oleh orang kampong bersama-sama.
Pernahkah kau mendengar seorang anak muda yang baru bertunangan, berjalan ke rantau orang hendak mencari mas kawin dan kain baju, untuk diberikan kepada tunangannya bilamana dia pulang kelak. Setelah dua tahun dia berjalan, diapun pulang, didapatinya tunangannya tadi telah bersuami orang lain yang lebih kaya, sebab dia terdengar miskin. Pernahkah kau dengar bahwa seketika dia pulang itu, setelah sampai kepadanya kabar bahwa tunangannya telah bersuami, dia duduk di tepi batang air yang deras, menangisi nasibnya, dan akhirnya dilemparkan petinya itu ke dalam air. Setelah itu dia kembali merantau, sehingga tak pulang-pulang lagi sampai sekarang ini.”
Selain dari itu, juga ada satu onggokan paragraf pembelajaran hidup yang disampaikan Muluk kepada karibnya itu, Zainuddin yang masih dirundung sedih :
Banyak sekali sebenarnya bagaimana surat menyurat Zainuddin dan Hayati , hingga Hayati tidak membalasi surat dari pemuda yang malang tersebut. Menariknya lagi isi surat tersebut tidak hanya tentang perasaan Zainuddin ke Hayati, didalam surat tersebut juga banyak sekali pembelajaran, membahas cerita-cerita yang melarat dan sedih sebagai pengingat buat pembacanya agar selalu berlaku baik dan adil. Akan lebih baik kalian baca sendiri novelnya, toh telah banyak bertebaran bahkan versi KW-nya, dan tidak mungkin juga saya tulis ulang semua yang menarik dari surat-surat zainudin.
.Karya klasik Indonesia karangan Hamka ini cukup membuat pembacanya sesak napas. Kisahnya yang bertemakan kemalangan hidup dan cinta yang tak sampai berbalut kepasrahan kepada takdir Sang Pencipta membuat kita menahan napas berkali-kali. Emosi pun naik turun dibuatnya, terutama di bagian pertengahan ketika Zainuddin diusir dari Batipuh, ketika Khadijah mengata-ngatai Zainuddin di depan Hayati, ketika Zainuddin menerima surat penolakan dari mamak Hayati karena mereka bangsa beradat dan tidak mau menerima pinangan Zainuddin, juga di akhir ketika keadaan Hayati dan Aziz semakin buruk, dan Hayati harus menuai apa yang dulu pernah dilakukannya kepada Zainuddin.
Akhir cerita ini mengenaskan dan mungkin banyak yang merasa tidak puas dan sebal dengan perilaku Zainuddin di akhir. Namun, entah kenapa saya bisa menerimanya, karena apa yang dilakukan Zainuddin itu memang sudah seharusnya begitu. Saya memang menyesalkan tindakannya yang terlalu emosional yang membawa mereka kepada tragedi. Namun, saya merasa bahwa Zainuddin memang harus melakukannya, karena itu adalah yang terbaik bagi mereka berdua.
Sekian dulu review Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck , sejatinya ini tidaklah layak disebut review karena lebih mengajak saja bagi kalian yang suka membaca kalau belum membaca karya Hamka yang fenomenal ini agak gimana gitu, padahal novel ini juga tidaklah tebal hanya 264 halaman versi penerbit Balai Pustaka. Dan juga beliau termasuk penulis paling berpengaruh di dunia sastra, dapat dibaca dari penulisan dan penyampaiannya pada cerita ini, tampaklah sosok Hamka sangat cendekia, sayangnya bagi rasssian kekurangan pada novel ini adalah tema ceritanya yang teramat sedih menyayat hati.
Baca juga ulasan menarik lainnya seperti Rekomendasi dan Review buku-buku maupun film atau kalian bisa memilih dibagian Kategori/Tag di bawah :
- Review Buku Cinta Paling Rumit Karya Boy Candra
- Review Buku Aroma Karsa Karya Dewi Lestari | Book of The Year 2018
- Rekomendasi 7 Buku Kumpulan Cerita yang Wajib dibaca
- Review Buku Arang Langkah karya Fiersa Besari | Petualangan yang Menggugah