Review Buku Samaran karya Dadang Ari Murtono. Novel dengan ketebalan 198 halaman ini terbit pertama kali pada februari 2018 dan diterbitkan oleh Mojok. Tentu buku ini sangat fresh dan layak dijadikan sebagai bahan bacaan di tahun 2018 ini.
Dadang Ari Murtono masih baru di dunia pernovelan, meskipun telah bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat salam kelompok Suka Jalan, buktinya hanya ada satu buku lain yang telah terbit. Buku Puisi yang berjudul Ludruk Kedua (2016). Namun novel pertamanya ini “Samaran” sangat bisa dinikmati, dengan gaya penulisan yang meyakinkan tentu telah terbukti sang penulis telah melalui berbagai macam pengalaman, dan kalian akan mendengarkan dengan seksama bagaimana penilaian terhadap mahakarya ini. (Geser bawah kuy!)
Buku ini sudah dari 10 hari yang lalu saya baca. Terselesaikan dengan 2 kali sesi baca, agak lamban, padahal buku ini terbilang tipis. Sialnya saya agak malas untuk memberikan review, bukan berarti buku ini tidak menarik, hanya saja saya sedang malas untuk menulis. Dibutuhkan satu gelas kopi hitam untuk sekedar membeberkan apa yang telah dibaca, dua gelas kopi untuk penjelasan yang dalam dan isi postingan yang panjang.
Samaran ya, bukan kasmaran. Dugaan awal sekiranya jika dilihat dari sampul dan ilustrasinya buku ini bakal memperlihatkan suasana-suasana hangat nan kasmaran, dua orang yang saling mencintai terpisah jarak dan terpaut rindu yang tak berkesudahan.
Alhasil saya keliru besar, penjelasan di backcover nya menjelaskan suasana yang bisa dikatakan agak horror, karena menyinggung tanda-tanda kematian. Dan ‘boom’, Diawal membaca saya dapati pen-diskripsian yang humoris, konyol, absurd dan pastilah membuat para pembaca manapun menjadi terkekeh-kekeh. Secara tidak langsung, Novel tipis ini pekat dengan unsur komedi.
Diawal membaca hingga berpuluh halaman sangat saya nikmati, bahan bacaan yang fresh dan berani menghadirkan pendiskripsian yang teramat lucu. Pengenalan tokoh-tokoh cerita yang benar-benar gamblang membuat buku ini sangat unik bagi saya.
Samaran sendiri sebenarnya adalah nama sebuah kampung yang sangat terpelosok, hingga sangat terpelosoknya Samaran hanya bisa dimasuki seperti memasuki dimensi lain. Dikatakan pada cerita, bahwa pendatang pun memasuki Samaran karena unsur ketidak sengajaan karena telah tersesat dihutan selama berhari-hari.
Dengan penyuguhan cerita dari sudut pandang orang ketiga yang tahu segalanya, kita selaku pembaca akan memperhatikan dengan seksama. Karakter-karakter yang dijelaskan tersebut seolah kita dihadapkan tatap muka, sesekalipun kita akan berekspresi seperti sumringah, seolah berkata “Oo” atau “Haah”, atau terkekeh sambil mengumpat kecil.
Diceritakan bagaimana wilayah Samaran ini pertama kali ditemukan hingga dibuatlah suatu pemukiman, diceritakan juga bagaimana sebuah kampung bernama Samaran tersebut harus memiliki Dukun di setiap generasinya, sebagai penjaga dari hal-hal mistis atau pun marabahaya yang tampak.
Penduduk Samaran tidak mengenal sama sekali uang, hingga kebutuhan sehari-hari mereka dapat dari alam. Alam menyediakan keseluruhan daya konsumtif mereka, sebutlah itu makanan, pakaian dan bahan pembuat rumah mereka sekaligus. Dan yang uniknya mereka semua cukup dan berkecukupan.
Plot cerita maju-mundur—maju-mundur. Tentu seketika kita juga dapatkan kilas balik, seperti penjelasan latar belakang karakter, keterkaitan karakter terhadap hal-hal yang terdahulu, sehingga menjadi seperti yang diceritakan sekarang ini. juga Latar belakang suasana, latar belakang suatu kejadian yang menghampiri. Semua hal dipautkan terhadap kejadian yang telah terdahulu, apapun itu.
Banyak lagi sebenarnya tokoh yang didiskripsikan menghiasi Samaran, bahkan sesuatu yang sangat absurd menghiasi latar belakang para tokoh. Seperti Dukun generasi sebelumnya yang kehilangan alat vitalnya hanya demi menghilangkan sebuah wabah yang aneh di kampung Samaran tersebut, alat vital tersebut dijadikan sebagai tumbal atau sejenisnya.
Ada juga Kepala kampung yang tergila kepada seorang wanita panggung yang nyatanya adalah seorang waria yang senang hati memberikan permainan tangannya terhadap kepala kampung tersebut. Dan banyak lagi, Memang lingkup cerita tidak terlalu luas, namun kesemuanya pada porsi yang pas.
Kekurangan buku ini menurut saya adalah meskipun klimaks pada konfliknya memang sudah didapat dan berhasil membuat kita takjub, namun proses pada penutup cerita yang masih terasa kurang, apakah karena sang penulis ingin terburu-buru menyelesaikan, atau sudah kehilangan ide, saya juga kurang tahu. Yang saya rasakan yakni penyelesaian cerita yang kurang khidmat.
Ini ada beberapa kalimat yang sudah saya tandai dan dikutip langsung dari buku ini :
Salah satu wabah yang paling cepat menular adalah kecemasan dan ketakutan.
Bagaimanapun, seorang pemimpin adalah representasi dari apa yang dipimpinnya. Dan penghinaan kepada seorang pemimpin, berarti penghinaan bagi seluruh apa yang dipimpinnya.
Alangkah cepat semua berubah. Alangkah dekat jarak antara kesedihan dan kebahagiaan. Jauh lebih dekat dari pada jarak dua hati dari dua orang yang saling mencintai, dan sedekat batas antara kehidupan dan kematian.
Ada dua hal penting yang mesti dibangun untuk menjamin terciptanya kehidupan komunal yang baik, yaitu rumah sebagai peneduh dan tujuan pulang, serta tanah lapang untuk berkumpul, meningkatkan kerekatan hubungan penduduk dan membicarakan masalah-masalah penting yang menyangkut hidup orang banyak.
Baca juga ulasan tentang Review dan Rekomendasi Buku lainnya yang tak kalah lebih menarik :