Ronggeng Dukuh Paruk: Bagian Jantera Bianglala [Review part.2]

Jantera Bianglala adalah buku ketiga dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, merupakan babak akhir dari lika-liku cerita Srintil dan warga dukuh paruk yang pada akhirnya menghadirkan klimaks yang sangat sumringah sehingga meninggalkan kesan yang mendalam terhadap pembacanya.Pada versi Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Ronggeng Dukuh Paruk terbit pertama kali pada Februari 2003, yang merupakan penyatuan ketiga buku tersebut Jantera Bianglala hadir pada halaman 245. Dan yang saya miliki ini merupakan cetakan yang ke-13 november 2017 dan saya beli di awal tahun 2019. Hmmm, apakah masih layak dibaca pada tahun 2019 ini? terlebih bagi generasi millenial? Tentu saja pertanyaan ini bakal terjawab sendirinya dari penjelasan di bawah nanti.

Untuk pembahasan Ronggeng Dukuh Paruk sebelumnya sudah saya bahas pada postingan sebelum ini atau kalian bisa cek disini. Jantera Bianglala sendiri lebih menohok kepada penyelesaian konflik dan keseluruhan cerita. Yang mana Rasus begitu banyak disentil di Buku pertama kembali banyak di ulas pada bagian buku ini, hingga Rasus menjadi terasa lebih ke tokoh utama yang sengaja disembunyikan selama ini.

Begitupun dengan tokoh Srintil yang selalu diagung-agungkan sepanjang cerita. Pada kisah Srintil kita bisa merasakan banyak pengalaman, dari hingar-bingar ketenaran, emosionalnya seorang perempuan dan tak lupa pada psikologi sebagai seorang manusia. Srintil kehilangan kejiwaannya ketika di penghujung cerita, hal tersebut terjadi karena Srintil telah diperdayai oleh seorang lelaki yang bernama Bajus. Srintil yang meletakkan harapan penuh kepada laki-laki yang sangat baik seperti bajus, ternyata bajus sendiri berwajah dua. Kepalang kurang ajar hingga mengumpat dan mengutuk Srintil sebagai seorang komunis sehingga membuat Srintil menjadi shok dan sang penulis memperlihatkan bagaimana seorang Srintil kehilangan kejiwaannya.

“Kehilangan Kejiwaan merupakan seribu kali lipat pedih dari kematian. Badan hidup tetapi jiwa tak ada, layaknya binatang.”

Lebih-lebih Dukuh Paruh dan warga seisinya yang masih saja hidup primitif dan tiada perkembangan hidup sekalipun. Warga pedukuhan tersebut mendapat trauma akut dari tragedi tahun 1965, menjadikan mereka sebagai tuduhan komunis. Jelas saja tidak, mereka masih tetap percaya kepada adat dan kepercayaan yang sangat tidak logis. Meskipun sebagian gubuk-gubuk mereka hangus dilalap api dikala itu.

Apa yang membuat Jantera Bianglala menjadi sangat berkesan dari dua buku sebelumnya. Dibalik pendiskripsian yang sangat begitu baik dan relasi yang terjalin lagi terhadap buku bagian pertama yakni eksekusi cerita. Setelah kepergian Rasus yang mencoba memasuki dunia militer hubungannya dengan Srintil menjadi jauh merenggang. Beberapa kali mereka di pertemukan kembali tetapi tetap saja Rasus berpikir beribu kali lipat bahwa hubungannya dengan Srintil akan berdampak buruk pada pekerjaaannya. Saya sendiri juga menjadi geram terhadap keputusan yang diambil oleh Rasus. Terkadang jalan pikiran manusia telah menjadi takdir dari sang illahi,

Disini, Ahmad Tohari selaku penulis cerita paham betul bagaimana mempermainkan persepsi pembacanya. Ronggeh Dukuh Paruk bukanlah sebuah cerita yang dengan begitu mudah kita tebak jalan ceritanya.

“Kehidupan bukan seperti roda yang berputar, kadang kita diatas-kadang dibawah. Melainkan kehidupan/zaman berjalan dengan sambil mengayunkan kita ke kiri dan kekanan.”

Saya setuju sekali bahwa ada yang mengatakan Ronggeng Dukuh Paruk lebih dari sekedara Novel Roman picisan. Agak berpikiran sempit jikalau hanya mengatakn Novel ini adalah tebal dengan romansanya, melainkan Novel ini adalah novel sejarah, novel psikologi bahkan mungkin bisa juga dikatakan sebagai novel perjuangan. Isinya komplit dari mulai unsur budaya, cinta, bahkan sampai unsur propaganda.

Ronggeng merupakan sebuah seni dan budaya indonesia. Saya sendiri baru tersadar kalau kalian melihat uang lima ribu rupiah yang lama(yang kuning) maka ada gambar seorang wanita yang sedang menari. Nah, itulah gambaran kecil tentang ronggeng.

Sekian dulu pembahasan Jantera Bianglala yang menjadi buku penutup dari Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Akhir kisah perjalanan Srintil yang begitu ironis memang meninggalkan kesan yang mendalam terhadap pembacanya.


Baca juga ulasan menarik lainnya seperti Rekomendasi dan Review buku-buku maupun film atau kalian bisa memilih dibagian Kategori/Tag di bawah :

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *