“Aku sudah bosan melihat mereka, keluargaku dan sekelilingku. Tidak krasan lagi aku dalam keadaanku, sebab segalanya serba menjijikkan dan menjengkelkan. Aku merasa bahwa bukan di situlah tempatku dan aku mesti pergi, satu-satunya jalan keluar. Tidak ada lain yang bisa kuperbuat selain melarikan diri dari sekelilingku!” (h. 11)
Mulailah, ia lari; ungkapan Jawa yang tepat: minggat; lalu bertualang dengan bekal uang yang dicuri dari kantong bapaknya. Ia perkenalkan diri sebagai Herman. Sebisa mungkin membuang nama pemberian orang tua. Sebisa mungkin menutupi dan berbohong untuk asal-usul keluarga. Tak segan untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut soal keluarga, Herman mengaku sebagai yatim piatu.
Kota Bandung yang pertama dituju karena di sana ada teman sekampung walau tanpa alamat pasti. Di kota itu pula pertama kali ia meneguk kenikmatan perempuan. Tapi tak lama, karena perempuan itu selalu meminta bayaran untuk kenikmatan yang dipinta. Bekal semakin tipis dan sudah mirip seperti gelandangan tapi kawan yang dicari juga belum ketemu. Untuk hidup dan tinggal, mulailah ikut menjual “peujeumbol”. Populer sebagai penjual “peujeumbol” mengantarkan pada kawan yang dicari.
Hidup mulai tertata. Kerja sekaligus menjadi murid di bawah Jepang tak membahagiakan. Ia pun pergi tanpa pamit. Ke Semarang dan diterima sebagai murid Sekolah Pelayaran Tinggi sambil was-was “..ngeri memikirkan kalau-kalau aku sampai ketahuan dan dibawa ke Kenpetai.” (h.23).
Keadaan atau sejarah rupanya mengantarkan petualangannya pada patriotisme dan menjadi pendukung aktif kemerdekaan negerinya.
“Aku sedang asyik di sekolah waktu revolusi meletus. Jepang dari Kido Butai mengamuk, tentara Inggris datang dan bangsa Indonesia mengadakan perlawanan.
Seorang anggota polisi yang sudah tua memberikan pestolnya padaku, setelah tidak ada teman-teman yang mau menerimanya.” (h. 32)
Dengan Pestol itulah, Herman turut bersama rakyat mengejar dua Serdadu Jepang yang berjalan menuju Kido Butai di Pandanaran. Ia satu-satunya pengejar yang membawa Pestol. Tembakan pertama kali dalam hidupnya sampai habis peluru Pestol tersebut tak mengenai sasaran.
Herman pun turut bersama rakyat menyerang tangsi Kido Butai. “Orang-orang yang semangatnya berapi-api maju dalam hujan peluru mitraliur dan hasilnya kematian yang mengerikan…” (h.34). Rosihan Anwar dalam “Kisah-Kisah Zaman Revolusi” menulis: “Semarang menderita. Pada tanggal 15 Oktober 1945 pecah pertempuran antara pemuda-pemuda dengan pasukan Jepang di bawah Mayor Kido. Lebih kurang 2000 orang penduduk menjadi korban.
***
Herman pun tiba-tiba ingin pulang ke Yogya. “Aku tidak rindukan atau kuatirkan keluargaku. Mungkin revolusi yang menyebabkan aku ingin ke Yogya…” (h. 37)
Ia terus bergerak. Ikut kawan ke Magelang untuk bertempur. Menembak Gurkha jatuh dan mati walau bukan yang dibidik. Herman pun semakin menikmati pertempuran walau hatinya berontak ketika di Muntilan menyaksikan bagaimana orang yang dituduh mata-mata Belanda dibunuh dengan keji.
“Aku tidak doyan makan sampai menjelang pagi setelah kereta api bisa melanjutkan perjalanan. Bukan main banyaknya kematian yang kujumpai. Inilah revolusi! Inilah pemberontakan! Inilah perjuangan kemerdekaan! Segala kekejaman, segala pembunuhan, segala kematian itu untuk merdeka, untuk mengusir penjajah, untuk kemerdekaan tanah air! Tanpa semua itu kita akan tetap dijajah, kita tak akan mengenal kemerdekaan. Tidak ada yang suka dijajah, tidak ada yang suka ditindas. Kita mesti berani melawan penjajahan, kesewenang-wenangan, penindasan, perbudakan!”(h.51)
Hal yang sama juga ia saksikan lagi tanpa bisa berbuat apa-apa takut menimbulkan bentrokan antar pasukan ketika bertempur di front Bekasi. (h.190)
Herman sendiri hampir mati karena dituduh sebagai mata-mata. Pertama karena bedil yang dia pegang meletus tanpa segaja mengenai teman seperjuangan (h. 55) dan kedua karena membawa alat pemotret Leica (h.75)
“Ya’ apa itu pejuang-pejuang kok goblok! Mikir Bung! Jancuk!”
“Goblok-goblok itu anak-anak! Alat photo saja tidak tahu!” (h.76)
Dalam situasi yang genting itu, Herman selalu menemukan juru selamatnya.
***
Dalam bertualang di medan tempur di garis depan, kadang ditemui juga perempuan-perempuan yang berani walau sayup-sayup terdengar perannya. Misalnya, ketika Herman berangkat ke Surabaya. Ia bergabung di bawah komando Nyonya Tuegih, “seorang wanita berpakaian tentara lengkap dan berpestol..” (h.54) Bagaimana Nyonya Tuegih memimpin pasukannya dalam pertempuran tidak jelas. Malah menjadi misteri sebagaimana juga tokoh lain yang ia dengar ketika menuju front Bekasi: Mak Kembang. “Di mana-mana orang menyanyikan lagu ‘Awas Mata-Mata Musuh’. Ada yang bilang bahwa yang memberikan kata-kata lagu itu Mak Kembang, seorang perempuan yang selalu membawa senjata dan sering berkalungan rangkaian peluru; anggauta KRIS, orangnya berbadan tegap dan kulitnya hitam halus.” (h. 175-176).
Perempuan lain adalah petugas intelegen di Semarang dan namanya masih disembunyikan? “Suaranya manis tentu manis pula orangnya.” Setelah jumpa darat: “Ia tidak seperti suaranya, kurus dan berkaca mata dengan mata yang bagus tapi aneh.” (h.283) Perempuan berkacamata inilah yang menyelamatkan dirinya dari kemungkinan diadili justru setelah Penyerahan Kedaulatan RI oleh Belanda berdasarkan KMB November 1949.
“Lalu akan diadili oleh cecunguk-cecunguk Belanda itu? Seperti mereka yang sial itu? Dan dilemparkan ke Nusakambangan untuk sekian atau sekian tahun?”
“Bukan itu saja, kau akan dituduh sebagai pembunuh dan perampok, segala sesuatu tentang kau sudah mereka ketahui, bahwa kau pernah menyerbu dan tertangkap dan melarikan diri, bahwa kau pernah menjalankan spionase di Surabaya dan banyak lagi. Kau akan dihadapkan ke pengadilan dan hukumannya tidak sulit diramalkan.” (h.295)
Di Pertempuran Surabaya dalam “Kisah-Kisah Zaman Revolusi”, Rosihan Anwar menceritakan: kaum wanita walau tak memegang bedil sangat mendukung para pemuda yang bertempur di garis depan. Pun berani mengambil resiko di garis depan. “…putri-putri yang berjasa dalam mengantarkan makanan ke garis paling depan, sekalipun di bawah tembakan mortir yang sehebat-hebatnya.”
Tetapi Herman berkesan lain ketika bertugas di Srondol, garis pertempuran terdepan selatan Semarang. “Banyak gadis-gadis kota yang di Pudakpayung (Markas Pasukan Putri) dan aku tidak yakin betul mereka itu sebenarnya membantu atau mengganggu. Karena merekalah maka banyak anggota pasukan yang kluyuran di garis belakang, karena merekalah pemuda-pemuda merindukan kekasihnya, karena mereka pemuda-pemuda banyak yang melamun ingat rumah, ingat yang ditinggalkan. Tapi mereka merupakan hiburan, aku sendiri selalu merasa terhibur setiap ke Pudakpayung.”(h.156)
Dengan kemampuan yang lumayan dalam memainkan Piano, Herman yang wajahnya menurut dirinya sendiri tidak lumayan itu kadang berhasil memikat hati gadis-gadis cantik untuk berpaling dan berkumpul di sekitar dirinya. Di Jombang dia memikat Maria, sempat bertunangan tapi gagal karena terputus hubungan: Herman tertangkap dan tak ada kabar. Di Jogja kota kelahirannya sendiri, Tini, saudara perempuan temannya pun jatuh hati. Tapi tak berlanjut karena Herman selingkuh.
Banyak lagu bisa dia mainkan walau ada satu atau dua nada sumbang yang luput dari telinga awam musik.”Aku duduk, memainkan lagu ‘Jauh di Mata’ dan di luar dugaanku permainan kampungan itu telah meluluhkan hati Restuni..” (h. 116) “Melati Putih Puspa Juita” membuat gadis-gadis di Markas Putri Pudakpayung mendekat. “Dan gadis-gadis itu mengerumuniku dan seperti sudah semestinya, mataku selalu mengawasi yang paling manis. Dan ada rasa kecut dalam hatiku, sebab rasa-rasa gadis manis itu memandangiku.”(h. 157)
Dan bagi Herman: “Di garis depan..selalu lebih menyenangkan. Memang ada kerinduan pada suasana kota tapi jika sudah menginjak kota, sebentar saja sudah bosan. Suatu kenyataan bahwa hidup di tempat damai lebih sulit daripada di daerah pertempuran. Segalanya terjamin dan dimanjakan, segala kesalahan selalu bisa dimaafkan. Hiburan ada dan di garis depan gadis-gadis hampir semuanya kelihatan manis apalagi gadis-gadis pasukan putri di Pudakpayung. Untuk mencari pasangan, kupikir lebih mudah di daerah pertempuran bagi gadis-gadis, sebab manis sedikit saja jadi manis sekali dan berebutlah orang ingin mendapatkannya.” (h. 160) Pernyataan sama diulangi lagi oleh Herman di halaman 210. “Kembali aku di garis depan! Daerah pertempuran memang daerahku. Aku bisa lebih merasa tenang di daerah pertempuran. Sebab di daerah pertempuran kita tidak dibebani pergulatan bagaimana mesti hidup, hidup bisa tidak terlalu berat, hidup bisa ringan, apalagi buatku. Hidup atau mati sudah bukan soal lagi, memang bukan soal kita. Kebutuhan akan kekasih, kebutuhan akan perempuan tidak begitu menekan.” Etmi, wanita indo Istri pertama Herman, pun didapatkan di daerah pertempuran Sidoarjo-Surabaya dan meninggal di daerah pertempuran.
Tidak semua usahanya dengan perempuan berhasil. Dengan Yohana alias Raminem yang pelacur gagal total ketika diajak membangun rumah tangga. Penolakan Susanah lebih menyakitkan ketika diancam dengan bunuh diri: “Kalau bunuh diri harap dengan pisau yang tajam supaya tidak infeksi.” (h. 154) Di garis depan, Magelang, perempuan dusun yang ia pikir akan langsung lunglai ketika langsung dipeluknya justru berteriak yang membuatnya lari sembunyi takut dituduh macam-macam yang bisa mempermalukan dirinya. “Habis, seperti monyet sih?” Kata gadis dusun itu. (h. 193) Sementara itu Gadis di kota G yang dipeluknya dengan penuh gairah menolaknya dengan halus: “Maaf Her, aku sudah bertunangan!” (h. 215). Di Bandung di halaman akhir kisah Petualang ini menunjukkan lagi kegagalan dengan perempuan. “Aku berkenalan dan jatuh cinta pada Ida. Tapi aku sudah malas menulis tentang kegagalan melulu dalam buku harianku. Dan karena nyata-nyata cintaku pada Ida tidak bisa merebut hatinya, aku tidak mau lagi memikirkan perempuan, sebab padaku mereka hanyalah meninggalkan kesenduan.”
Dari halaman awal sampai akhir Petualang tampak bercerita tentang kisah petualangan Herman di medan pertempuran dan revolusi, baik revolusi politik maupun hati, terutama dalam merebut hati wanita. Petualangan ini tampak menjadi milik laki-laki, sementara perempuan pun menjadi medan petualangan yang tentu saja mengenal suka-duka itu. Trisnoyuwono memang belum seperti Pramoedya Ananta Toer yang meletakkan tokoh-tokoh perempuan yang berlawan terhadap penindasan dengan terhormat dalam novel-novelnya. Dalam Petualang, selain ditunjukkan tokoh-tokoh perempuan yang maju dan berani dalam mengambil peran revolusi secara sekilas, kebanyakan perempuan menjadi obyek keberahian lelaki. Barangkali belum sampai di telinga Herman bila pada masa tertentu dan lama, perempuan pernah memimpin revolusi dan petualangan yang berani.
Akan tetapi bila kita baca dengan sabar, Petualang menunjukkan bagaimana perubahan sikap dan kesadaran politik itu terbentuk dan terbangun semakin matang dan maju. Dari remaja yang berontak terhadap kemiskinan dan kesengsaraan yang dialami keluarga menjadi pemberontak yang berani dan pasukan tempur yang patriotik untuk kemerdekaan negerinya. Ia pun menjadi Republikein yang punya sikap dan visi untuk Republik yang ia bela itu. Ketika Kemerdekaan dan kedaulatan yang ia bela tanpa kompromi itu berakhir di meja perundingan KMB dengan ungkapan penyerahan kedaulatan, Herman tidak bisa menerima.
“Rasanya lebih sebal lagi waktu kudengar bahwa kedaulatan RI akan diserahkan oleh Belanda. Mestinya aku gembira, sebab keadaan jadi aman dan biasa lagi dan bisa hidup berumah tangga…tapi kesenduan merasuki hatiku dan aku seperti orang yang kehilangan, seakan-akan segala perjuangan dan pengorbanan selama itu sia-sia saja. Orang tidak lagi bicara tentang perjuangan, orang mulai lebih mementingkan dirinya…Aku betul-betul tidak puas dengan akhir dari segala perjuangan itu, seakan-akan merosot martabatku, martabat bangsaku. Aku tidak mengerti sepenuhnya apa arti penyerahan kedaulatan dan kemungkinannya, tapi aku sungguh sedih dan merasa malu dan sakit hati, mungkin hanya oleh perkataan ‘penyerahan’ bahwa yang kita rebut dengan segala pengorbanan itu, akhirnya hanya diserahkan. Itu saja sudah menyebabkan putus asa.”(h. 292- 293)
Sementara itu pada situasi yang sama, Rosihan Anwar menulis di Kisah-Kisah Zaman Revolusi: Tanggal 17 Agustus Bung Hatta sudah ada di Kurthaus, Scheveningen, siap menghadapi KMB dengan Belanda. Sebagai wartawan saya juga ada di situ.
Dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 diadakan Konperensi Meja Bundar yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi dengan ketentuan Irian Barat tidak termasuk dalam wilayahnya dan negara baru itu mengambil alih hutang Hindia Belanda sebanyak 4.300.000.000 Gulden.
…
Sudah tahun baru, pikir saya. Tanah air saya sudah merdeka dan berdaulat, diakui oleh dunia internasional. Apakah gerangan yang akan dibawa oleh tahun 1950 dan seterusnya kepada bangsa dan tanah air saya?”
Tapi Herman:
“Dan lebih celaka lagi, setelah penyerahan kedaulatan, Belanda masih berkuasa, masih besar pengaruhnya pada segala bidang. Pejuang-pejuang yang tertangkap tidak sedikit yang diadili sebagai penjahat dan dihukum sewenang-wenang. Membunuh di dalam pertempuran dianggap pembunuhan biasa dan hukumannya berat. Dan orang-orang yang pernah turut Belanda tidak bisa dituntut, orang-orang yang selama itu hanya mementingkan dirinya di daerah Belanda jadi lebih aman lagi, lebih terjamin lagi…aku tidak bisa menerima bahwa pemerintah menerima persetujuan itu; aku mau terus bertempur mengusir Belanda, aku mau mendapatkan kemerdekaan secara terhormat dan sepenuhnya dan tidak sesuai dengan kemauan Belanda, tidak perduli apa yang mesti menjadi taruhannya. Aku sungguh kecewa dan jengkel dan sakit hati. Kenapa segala perjuangan itu mesti berakhir dengan cara begini?”
…
Aku lebih setuju dengan pendapat bahwa penyerahan kedaulatan yang kelihatannya banyak menguntungkan itu, kelak akan merugikan oleh campur aduknya orang-orang republik dan orang-orang yang memihak atau turut Belanda, secara pasif ataupun aktif, tetap campur tangannya Belanda dalam segala bidang; dan kerugian itu adalah kerugian pembentukan watak bangsa Indonesia. Watak perjuangan, watak keseluruhannya.”(h.293-294)
Ketika KMB itu ternyata juga tidak menjamin masa depan dan keselamatan hidupnya. Ia pun lari dari tahanan Belanda.
“Persetan penyerahan kedaulatan!!”
Petualangan Herman tak berhenti walau pertempuran fisik sudah usai. Ia terus bergerak mencari peran hidup di dunia dan sempat menjadi Sersan Mayor. “..sampailah aku di daerah Senen, berkenalan dengan pengarang-pengarang muda yang selalu giat dan gembira; aku berkenalan dengan Ayip Rosidi, S.M. Ardan, Sumandjaya, Riyono Pratikto, Sobron Aidit…” Di Bandung Herman bertemu dengan penulis novel ini: “..seorang sersan mayor yang juga suka menulis: Trisnoyuwono.” Herman pun memutuskan berhenti dari ketentaraan dan fokus pada dunia karang-mengarang.
Sebagai petualang Herman tidak bisa diam. Rasa bosan dan belum berguna dalam hidup sering menyerang. Pertanyaan pamungkas pun menghantui sering juga bagi banyak orang: “Buat apa hidup kalau nyata-nyata tidak bisa berguna lagi?”
Anda yang masih aktif berjuang atau memikirkan perjuangan, atau ingin berjuang bagi negeri ini..sempatkanlah membaca buku ini. Akan banyak kesaksian tentang Perang Revolusi 1945-1949, peran perempuan juga humor yang mengiringi. Sebuah film untuk novel ini tentu memikat, mencekam dan mendidik.
Sumber: berdikarionline.com
Baca juga Review Novel saya yang lainnya yang tak kalah menarik :
Waaah… review-nya keren banget.
Lengkap.
thanks kaka. . mari berbagi