
Orang-orang Bloomington karya Budi Darma. Cetakan pertama, mei 2016. Penerbit Noura Books.
Sejak kali pertama terbit, tujuh cerita yang dihimpun dalam antologi Orang-orang Bloomington sukses memukau pembaca lintas generasi melalui permasalahan yang diangkat yakni emosi-emosi terdalam manusia.
“Janganlah mengurusi kepentingan orang lain dan janganlah mempunyai keinginan tahu tentang orang lain. Hanya dengan jalan demikian, Kita dapat tenang”, begitulah kalimat yang tertera pada Backcover buku ini.
Sekilas tentang penulis, Budi Darma sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Unesa(Universitas Negeri Surabaya). Budi darma pernah menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen dan novel dan pernah mendapatkan penghargaan antara lain dari Balai Pustaka, Kompas, S.E.A.- Wirte Award (Bangkok), Anugerah Seni pemerintah RI, Satya Lencana dari presiden republik Indonesia dan Anugerah MASTERA (Brunei).
Manusia dengan segala dinamika kehidupannya dikisahkan melalui sudut pandang orang pertama, menjadikan suasana batin tokoh-tokohnya
tergali dalam. Cerita-certianya tampak sederhana, tapi menyuguhkan sisi lain kehidupan nyata yang kompleks dan kelam.
Dengan cara yang tidak biasa, Budi Darma mengungkap konflik antar manusia yang lazim kita hadapi dalam keseharian yaitu prasangka, kesepian, kedengkian. Semua berpadu menjadi satu formula kisah yang realistis, menyentuh, bahkan cenderung menampar.
Buku yang menggugah pemikiran, menyadarkan bahwa rasa keingintahuan dari dalam diri kita sendiri itulah yang terkadang membuat menyulitkan kita sendiri. Ini juga kali pertama saya membaca karya Budi Darma dan setelah selesai membaca kumpulan cerpen ini cukup banyak kesan yang muncul dalam benak saya.
Alur yang cukup sederhana tanpa kata yang berbelit ternyata dapat meninggalkan impresi mendalam. Tokoh ‘Saya’ dalam hampir semua cerita seakan menjadi teropong bagi saya untuk menilik lika-liku penghuni Bloomington.
Penggalan paragraf pada awal bab tentang Orez:
“Hester Price, demikian nama perempuan yang kemudian menjadi istri saya, menyatakan bersedia saya ajak kemana saja dan berbuat apa saja, tapi terkejut dan ketakutan ketika saya jatuhkan keputusan untuk mengawininya. Dia menjerit dan untuk menggagalkan jeritnya dia menggigit bibirnya kuat-kuat, serta mencekik lehernya sehingga kedua biji matanya akan melesat ke luar. Sementara itu, warna wajahnya berubah, dan kalau saya tidak salah lihat, otot-otot dikeningnya menjadi besar seperti kaki-kaki gajah. Kemudian, dia mohon maaf dan lari sekuat tenaga menjauhi saya.”